Powered By Blogger

Política de Privacidade

Text Widget

aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa

Text Widget

"Adapun bagi siapa yang durhaka' yang mengutamakan kehidupan didunia,, maka sesungguhnya neraka jahim adalah tempat kembalinya' adapun orang yang takut akan kebesaran Tuhan dan menahan dari keinginan hawa nafsu , maka sesungguhnya surga adalah tempat kembalinya." (Qs. An Nazi,at;37-41)

qqqqqqqqq

POST-TITLE-HERE

POST-DESCRIPTION-HERE
IMAGE-TITLE-HERE

POST-TITLE-HERE

POST-DESCRIPTION-HERE
IMAGE-TITLE-HERE

POST-TITLE-HERE

POST-DESCRIPTION-HERE
IMAGE-TITLE-HERE

POST-TITLE-HERE

POST-DESCRIPTION-HERE
IMAGE-TITLE-HERE

Senin, 15 Maret 2010

Liburan Maulud Usai, Semua Kegiatan Aktif Kembali



Hari Selasa, 2 Maret 2010 kemarin, liburan Maulud untuk santri darussalam telah berakhir. Sejak pagi, beberapa santri telah datang kembali ke pesantren. Suasana pesantren yang tidak begitu sepi, karena santri yang tidak pulang cukup banyak, semakin ramai ketika siang tiba. Santri yang datang semakin banyak, dan mereka berbondong-bondong sowan ke ndalem pengasuh.
Kegiatan yang langsung dimulai kemarin adalah pengajian Tafsir ba’da Maghrib. Untuk kegiatan lain masih akan dimulai hari ini. Mulai kegiatan sekolah pagi hingga Diniyyah dan pesantren, hari ini mulai aktif kembali seperti sebelum liburan. (Ulf)
4 Maret 2010
Kost Makan Santri Dimulai Kembali
Kost makan santri Pesantren Darussalam Putri Utara pasca liburan Maulid dimulai kembali tanggal 4 Maret.
Saat kedatangan santri tanggal 2 Maret, kost makan belum dibuka kembali dan para santri berbondong-bondong memenuhi warung-warung pesantren untuk makan selama dua hari tersebut hingga menimbulkan antrian yang panjang.
Hari ini, Kamis 4 Maret, makan untuk santri kembali disediakan pada ibu kost masing-masing. Dan mulai bulan Maret ini pula, pembayaran kost makan naik dari Rp 110.000,- menjadi Rp 125.000,-. Hanya saja, karena bulan Maret ini dipotong tiga hari, biaya kost makan untuk bulan ini juga dipotong menjadi Rp 115.000,-. (Ulf)
Selengkapnya _http://darussalamputriutara.wordpress.com/daily-news/#comment-5

Sabtu, 13 Maret 2010

coba ahhh

aaaaaaaaaaaaaaaaaa???,,, coba-coba

Jumat, 19 Februari 2010

Tawakkal dan Ikhtiar Dalam Mencari Nafkah

Segala puji hanya milik Allah Ta'ala, Dzat yang telah melimpahkan berbagai kenikmatan kepada kita semua. Shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad keluarga, dan seluruh sahabatnya. Amiin.
Hidup Mulia Dengan Kucuran Keringat Sendiri.
Syari'at Islam adalah syari'at yang mulia dan senantiasa mengajarkan setiap kemuliaan kepada umatnya. Islam juga melarang setiap hal hina dan menyebabkan kehinaan kepada pelakunya.
Syari'at ini berlaku dalam segala aspek kehidupan manusia, dimulai dari urusan manusia paling besar, yaitu yang berkaitan dengan harga diri dan tujuan hidup mereka di dunia, hingga urusan mereka yang paling kecil.
Dalam hal yang berhubungan dengan tujuan hidup, Islam mengajarkan, agar seluruh umat manusia menghargai dirinya dan mendudukkannya pada posisi yang bermartabat, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya:


"Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan" Al Isra' 70.

Selengkapnya,

Pembangunan Sumur Zamzam Asal Zamzam

Hajar, ibunda Nabi Ismail adalah wanita yang pertama memakai minthaq (ikat pinggang berekor). Beliau memakainya dengan tujuan untuk menghilangkan jejaknya dari Sarah. Nabi Ibrahim membawa Hajar dan anaknya, Ismail yang masih dalam usia menyusu ke tempat yang agak tinggi di pinggir mesjid dekat Baitullah persisnya di atas Zamzam. Ketika itu di Mekah belum ada orang dan tidak ada air. Ibrahim menempatkan mereka berdua di sana dan meninggalkan sekantong kurma dan sekantong air untuk mereka. Nabi Ibrahim pergi meninggalkan mereka berdua. Tiba-tiba Hajar mengikutinya dan berkata, "Mau ke manakah engkau wahai Ibrahim? Kau tinggalkan kami di lembah yang tidak ada manusia dan tidak ada sesuatupun?" Pertanyaan itu terus diulang-ulang, tapi Ibrahim tidak menoleh dan tidak pula menjawab. Lalu Hajar bertanya, "Apakah Allah yang menyuruhmu berbuat demikian?" Ibrahim menjawab, "Ya." Hajar berkata, "Kalau memang begitu kami tidak keberatan."

Kemudian Hajar kembali dan Ibrahim meneruskan langkahnya, sampai di atas bukit, di mana keluarganya tidak dapat melihatnya lagi, beliau menghadap ke arah Baitullah, lalu mengangkat kedua tangannya seraya berdoa, "Ya Tuhan kami! Sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah-Mu (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami! semoga saja mereka tetap mendirikan salat, jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur."
 
Selengkapnya,

Olimpiade Matematika

Darussalam Blokagung _Mengadakan olimpiade matematika se-Kabupaten Banyuwangi, untuk tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menegah Pertama dan yang Sederajat. Olimpade yang berlangsung di Darussalam Blokagung ini, di ikuti oleh siswa siswi seluruh Banyuwangi. Selama acara perlombaan berlangsung, para siswa yang tidak ikut olimpiade di hibur dengan berbagai kegiatan yang diadakan di auditorium STAI Darussalam -lantai tiga.
 
Dalam acara tersebut, pada sesi yang terakhir para peserta lomba dari semua tingkatan di ajak untuk nonton bersama pemutaran film dengan judul Embrio Inside, film karya siswa siwi Sekolah Menengah Atas Darussalam. Film ini masuk pada kategori film pendek yang pertama untuk karya dari siswa-siswi SMA Darussalam.
Selengkapnya,

Ujian Semester STAI Drussalam

Blokagung 13 Februari 2010, _Sabtu pagi sejumlah Mahasiswa tampak mulai mempersiapkan diri, untuk mengikuti ujian semester. Ujian yang berlangsung selama sepekan ini berlangsung dengan tertib, hal ini terilah dengan persiapan para Mahasiswa yang telah mengurus segala Administrasi beberapa hari sebelum ujian semester di mulai.

Selengkapnya,

Umat Islam Solo Tuding JIL Menistakan Agama

Pro dan kontra uji materi Undang-Undang Penodaan  Agama berlanjut.  Forum Umat Islam Surakarta menuding kelompok Jaringan Islam Liberal (JIL) dan LSM pendukung pencabutan Undang-Undang /PNPS/1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama sebagai kelompok yang menistakan agama Islam.

Kuasa hukum Forum Umat Islam Surakarta,  Mahendradatta, mengungkapkan ada kecenderungan  pendukung pencabut undang-undang tersebut,  salah satunya JIL,  telah menistakan agama Islam. ”Kedok dari inti penistaan agama adalah, lambat laun dalam persidangan yang mereka perjuangkan adalah kebebasan menodai agama,” ungkapnya di Solo, Jumat 19 Februari 2010.

Mahendra mencontohkan, pada persidangan  17 Februari 2010 lalu, keterangan ahli dari pemohon, Pimpinan JIL Luthfi Assyaukani, menyebut kesalahan Lia Eden sama dengan kesalahan Nabi Muhammad. ”Dengan mudahnya, dia menggunakan komparasi premis yang tidak lengkap, dia bilang Lia Eden dan Nabi Muhammad sama-sama dikejar mayoritas umat dan penguasa. Itu pendapat keliru,” sebut dia.

Pernyataan Pimpinan JIL itu, menurut Mahendradatta, telah menistakan agama Islam. Untuk itu, dia mendukung tuntutan umat Islam Surakarta agar Luthfi mencabut pernyataannya tersebut.
Menurutnya, umat Islam Surakarta mulai merasakan keresahan-keresahan oleh pernyataan Luthfi Assyaukani. ”Betul, dalam persidangan bebas mengeluarkan pendapat, tapi perlu diingat, bahwa di persidangan siapa pun dilarang menghina kelompok tertentu. Kami akan menghadirkan saksi-saksi ahli untuk memperjuangkan ini,” pungkasnya.

www.nasional.vivanews.com/news/read/130958-umat_islam_solo_tuding_jil_menistakan_agama

Senin, 15 Februari 2010

Memahami karya sastra dikelas

Selama ini dalam belajar karya sastra, kita hanya menealah pada sebatas permukaan saja. Dalam membaca karya sastra , kita adalah penafsir atas hasil karya yang dihasilkan oleh pengarang. Kita selaku pembaca tidak hanya dituntut bisa membaca saja, tetapi harus memiliki wawasan tentang apa atau hal ingin diungkapkan oleh pengarang. Kita harus dapat berperan aktif dalam “merekonstruksi dunia” yang ingin ditampilkan oleh si pengarang dan mencoba memahaminya dalam konteks kehidupan sekarang dan yang akan datang. Sebuah karya sastra biasanya mengandung dua aspek yaitu kandungan moral dalam isinya dan keindahan bahasa (duice et utile).

Bagiamana untuk memudahkan kita untuk mengkaji karya sastra? Pertama, kita harus memiliki wawasan yang memadai tentang karya sastara yang ingin di baca. Wawasan maksudnya apa saja yang mendukung karya itu misalnya budaya, teknologi, seni, kesehatan, dan lain-lain, sehingga pemahaman dan pemakna';an atas karya sastra tersebut akan lebih mendalam. Kadua, kita mencoba merefleksikan penafsiran dalam karya sastra itu dala kehidupan saat ini. Bada bagian inilah kita memberi peran sebuah karya sastra dalam kehidupan kita sehari-hari, terutama tentang hikmah yang dapat dipetik dari karya sastra itu.
Tatkala belajar karya sastra dikelas, seorang guru membahas tentang sebuah novel, pembahasan unsureinstrinsik dapat dimulai. Misalnya, membahas novel Siti Nurbaya karya Marah Rusli. Pembahasan dimulai dari synopsis cerita dan team yang di angkat. Untuk dapat lebih memahami, langkah pertama kita dapat mencari data, misalnya bacaan tentang emansipasi wanita, kemudian langkah berikutnya mendiskusikan bagaimana relevansinya terhadap kehidupan sekarang. Demikian juga dalam tinjauan setting, pada tinjauan ini guru dapat mengajak siswa mencari sumber-sumber informasi yang mendukung, misalnya budaya padang serta membandingkanya dengan kehidupan saat ini. Sementara itu tentang penokohan , siswa  daapt memahami karakter tokoh cerita, sebagaimana si tokoh berinteraksi, sehingga ia dapat memetik hikmahnya.

Jadi, dengan mekanisme seperti diatas, diharapkan pembelajaran karya sastra dapat lebih dipahami dalam usaha mengakrapkan siswa terhadap karya sastra. (A.susan) GITA. 2004.

LAYANAN KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN

Pusat Bahasa , dalam rangka kegiatan Bulan Bahasa dan Sastra 2009 yang bertema “Bahasa dan Sastra Indonesia Membangun Generasi Muda yang Dinamis dan Kreatif” menyelenggarakan kegiatan “Layanan Kebahasaan dan Kesastraan”. Kegiatan ini dimaksudkan untuk menyediakan layanan konsultasi kebahasaan dan kesastraan bagi para pengajar bahasa, mahasiswa, peminat bahasa dan sastra sesastrarta masyarakat umum. Layanan diberikan secara langsung melalui tatap muka di Pusat Bahasa, Gedung Samudera, tanggal 5 -30 Oktober 2009 , setiap hari kerja pukul 10.00-15.00. Konsultasi juga dapat dilaksanakan melalui telepon (021) 4706287; faksimile (021) 4706678; pos-el layanan bahasa@yahoo.com

bahasa


Teman-teman MGMP bisa memanfaatkan kegiatan ini , juga dengan mengajak siswanya ke Pusat Bahasa .



Terima kasih Bapak Dr. Sugiyono sebagai ketua Panitia Bulan Bahasa 2009 telah memberikan kegiatan ini. Semoga teman-teman banyak yang datang. 

Rabu, 10 Februari 2010

Madain Salleh: Kota Puing-Puing Sisa Peninggalan Kaum Tsamud

Inilah sebahagian tapak-tapak binaan (132 chambers & tombs) tinggalan kaum Tsamud di Madain Salleh (lebih kurang 400km utara Madinah, Arab Saudi). Pada zaman itu, Allah swt utuskan Nabi Salleh a.s untuk dakwah kaum Tsamud kepada Tauhid tetapi mereka engkar dan mendapat balasan seksa (bala) dari Allah swt. (Era 200 BC - AD 200)

73. Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka, Saleh. Ia berkata. "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah ating bukti yang nyata kepadamu dari Tuhanmu. Unta betina Allah ini menjadi tanda bagimu, maka biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya, dengan gangguan apa pun, (yang karenanya) kamu akan ditimpa siksaan yang pedih."
74. Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikan kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum ‘Aad dan memberikan tempat bagimu di bumi. Kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah; maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat kerusakan.
75. Pemuka-pemuka yang menyombongkan diri di antara kaumnya berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah yang telah beriman di antara mereka: "Tahukah kamu bahwa Saleh di utus (menjadi rasul) oleh Tuhannya?". Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami beriman kepada wahyu, yang Saleh diutus untuk menyampaikannya".
76. Orang-orang yang menyombongkan diri berkata: "Sesungguhnya kami adalah orang yang tidak percaya kepada apa yang kamu imani itu".
77. Kemudian mereka sembelih unta betina itu, dan mereka berlaku angkuh terhadap perintah Tuhan. Dan mereka berkata: "Hai Saleh, datangkanlah apa yang kamu ancamkan itu kepada kami, jika (betul) kamu termasuk orang-orang yang diutus (Allah)".
78. Karena itu mereka ditimpa gempa, maka jadilah mereka mayit-mayit yang bergelimpangan di tempat tinggal mereka.
79. Maka Saleh meninggalkan mereka seraya berkata: "Hai kaumku sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu amanat Tuhanku, dan aku telah memberi nasihat kepadamu, tetapi kamu tidak menyukai orang-orang yang memberi nasihat".
Bak kata alim ulama dulu, Rasulullah SAW bersama para sahabat R.A pernah melalui kawasan ini sewaktu menuju ke peperangan Tabuk. Baginda saw arahkan para sahabat (RA) agar segera bergerak meninggalkan Madain Salleh serta beristigfar. Itu a cerita zaman nabi di mana Nabi suruh para sahabat beredar dari tempat itu. Tapi zaman sekarang ni pula, terbalik la pulak. Semenjak Madain Salleh diiktiraf oleh UNESCO pada Julai 2008, ada pakej Umrah & Haji menawarkan lawatan ke sini tanpa menghiraukan larangan Nabi saw. Ish2.
Berikut ialah catatan seorang pengembara zaman (pelancong lah tu hehe) sekarang yang pernah ke situ, dipetik dari sebuah blog (rujukan dibawah sekali).
Gunung-gunung batu tersebut dibentuk kaum Tsamud menjadi istana, rumah, dan kuburan para petinggi kaum. Pahatan ukiran dan ornamennya sangat halus dan indah, menakjubkan. Wilayah kekuasaan kaum Tsamud membentang hingga ke wilayah Petra (Yordania). Bedanya, Petra sudah dijadikan komoditi parawisata inti Yordania selain Laut Mati. Sedangkan Mada'en Shaleh masih menjadi perdebatan antara kepentingan dinas pariwisata Saudi yang mulai mengangkat Mada'en Shaleh sebagai komoditi pariwisata, dengan para ulama yang berpendapat bahwa tempat tersebut adalah situs peninggalan "kaum terlaknat," sehingga umat Islam diharamkan untuk menziarahinya.
Dikisahkan dalam Al-Qur'an, pada zamannya, kaum Tsamud memiliki keahlian arsitektur luar biasa. Nabi Shaleh, nabi kelima dari 25 nabi dan rasul yang tertulis, diutus Allah SWT, mengajak mereka untuk bertauhid. Namun, kaum Tsamud tidak menerima Nabi Shaleh begitu saja. Mereka minta ditunjukkan satu mukjizat sebagai bukti bahwa Shaleh adalah utusan Allah. Tak Cuma itu. Di luar batas kewajaran manusia, mereka minta seekor unta betina keluar dari celah bebatuan. Nabi Shaleh pun berdoa meminta kepada Yang Maha Kuasa. Doanya dikabulkan, dan keluarlah seekor unta betina dari celah bebatuan. Ia lalu berpesan kepada umatnya, jangan sampai menyakiti unta tersebut, apalagi membunuhnya. Azab Allah akan menyapu bersih, kalau sampai unta tersebut dibunuh. Kaum Tsamud akhirnya sepakat menjadi umat Nabi Shaleh.
Seiring perjalanan waktu, salah seorang umatnya kemudian mengingkari dan nekad membunuh unta tersebut. Menurut riwayat, konon sang pembunuh adalah utusan bersama para petinggi kaum yang diiming-imingi hadiah seorang wanita cantik. Nabi Shaleh marah luar biasa. Ia tahu, azab Allah tidak lama lagi akan datang dan membumi hanguskan kaumnya. Karena, "mukjizat unta" hanyalah simbol kepatuhan kaum Tsamud kepada Allah.
Setelah kejadian tersebut, kaum Tsamud masih menantang Nabi Shaleh, karena ternyata azab tidak kunjung datang melanda mereka. Maka, tidak lama berselang, murka Allah pun datang. Angin puting beliung dengan suhu udara yang sangat dingin menyelimuti hari-hari kaum Tsamud, diiringi gempa dahsyat. Akhirnya, kaum Tsamud tenggelam ditelan bumi. Yang tertinggal hanya beberapa rumah dan istana gunung batu sebagai hasil karya besar mereka.
Berjalan 2 km ke arah timur, terdapat peninggalan stasiun kereta api kuno tatkala kawasan Arab Hijaz berada di bawah kekuasaan Dinasti Ustmaniah Ottoman). Bangunanannya nampak masih terawat apik dan megah. Lokomotif tanpa mesin dan dua buah rangka gerbong, teronggok rapi di jalur rel dalam stasiun. Tidak salah pemerintahan Ustmaniah membangun stasiun di lokasi tersebut. Selain sebagai tempat transit, penumpang kereta dimanjakan dengan pemandangan hamparan Mada'en Shaleh yang terlihat jelas dari stasiun.
Kini, situs ribuan tahun itu masih bisa dinikmati peziarah yang datang untuk se­kadar berwisata atau para arkeolog de­ngan tujuan penelitian. Departemen Pariwisata Saudi gencar memromosikan Mada'en Shaleh sebagai objek wisata se­jarah selain Dir'iyah, situs kota tua Raja Abdul Aziz, pendiri kerajaan Saudi Arabia. (www.suaramedia.com)

Besarnya Otak Bedakan Kemampuan Belajar

Bila anda mengalami kesulitan bermain video games, menurut para ilmuwan ini mungkin disebabkan oleh besarnya bagian tertentu dari otak anda. Sebuah penelitian terbaru dari Amerika Serikat menyimpulkan bahwa kita bisa menduga kemampuan seseorang memainkan video games dengan mengukur seberapa besar isi otaknya di bagian tertentu.
Dalam penelitian yang diterbitkan oleh jurnal Cerebral Cortex, para peneliti ini mengatakan penemuan mereka bisa memiliki dampak lebih luas guna mempelajari mengapa kemampuan belajar manusia berbeda-beda. Selama ini kesepakatan umum memang menyimpulkan adanya hubungan antara besar otak dengan tingkat kecerdasan.
Namun, bagaimana persisnya hubungan tersebut masih menjadi misteri. Pada hewan atau mammal misalnya, beberapa binatang yang memiliki otak lebih kecil tergolong lebih "cerdas" dibandingkan binatang yang memiliki otak lebih besar, misalnya perbandingan antara monyet dan kuda, ataupun manusia dengan gajah.
Penelitian terbaru ini tampaknya menunjukkan bahwa ada bagian tertentu dari otak yang lebih besar, dan ini mungkin menjadi alasan mengapa masing-masing manusia memiliki tingkat belajar yang berbeda.

Main videogames

Sebuah tim gabungan dari Universitas Illinois, Pittsburgh, dan Massachusetts Institute of Technology di Amerika Serikat mengundang 39 orang dewasa -10 laki-laki, 29 perempuan- yang dalam dua tahun terakhir bermain video games kurang dari tiga jam setiap harinya.
Mereka kemudian diminta untuk memainkan salah satu dari dua games yang sengaja dibuat untuk penelitian tersebut. Satu kelompok diminta untuk mengkonsentrasikan diri pada satu pencapaian saja, sedangkan yang lainnya diminta untuk mencapai target yang berbeda-beda.
Hasil pemindaian MRI terhadap para peserta penelitian ini menunjukkan mereka yang memiliki nucleus accumbens yang lebih besar -yang terletak di bagian otak yang memberikan hadiah- bermain lebih baik di beberapa jam pertama, mungkin karena kepuasan atas keberhasilan mereka di awal-awal permainan.
Tetapi akhirnya, mereka yang tampil paling bagus adalah mereka yang memiliki bagian otak lebih besar yang terletak di tengah otak, yang disebut caudate dan putamen.
"Penjelasannya adalah bahwa bagian otak tersebut punya hubungan dengan proses belajar dan belajar ketrampilan baru, dan juga beradaptasi terhadap lingkungan yang berbeda. Mereka ini bisa melakukan berbagai hal dalam waktu bersamaan. Ini seperti ketika dia mengemudi mobil, kita juga melihat ke jalan, melihat GPS, dan berbicara dengan penumpang lain," kata Prof Arthur Kramer dari Universitas Illinois.
Secara keseluruhan, tim peneliti menyimpulkan bahwa hampir 25% dari perbedaan performa orang per orang bisa diprediksi dengan mengukur besar otak mereka.

Usaha juga penting
Tetapi Prof Kramer mengatakan penemuan mereka tidak bisa digunakan secara absolut dalam arti bahwa seseorang yang memiliki bagian otak tertentu yang lebih besar, pasti akan lebih pintar dibandingkan yang lain.
"Ini karena sebenarnya beberapa bagian dari otak kita juga sebenarnya elastis, bisa berubah dan berkembang. Semakin banyak kita belajar, dan mengaktifkan otak kita, semakin banyak manfaatnya. Ini mungkin relevan bagi para orang tua dimana dementia (pikun) menjadi salah satu masalah," tambah Prof Kramer.
Timothy Bates, guru besar psikologi di University Edinburgh, Skotlandia mengatakan penelitian tersebut sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menetapkan adanya hubungan antara besar otak dengan kemampuan belajar.
Tetapi sama seperti Prof Kramer, Bates juga mengatakan itu bukan segalanya. "Mereka yang lahir dengan otak lebih besar bila saja dikalahkan oleh mereka dengan otak lebih kecil. Besar kecilnya otak bukanlah hal yang penting, yang penting adalah usaha kita untuk belajar dan memperbaiki diri," kata Bates. (Republika.co.id)

Alat untuk Deteksi Virus Dengue dari UGM

YOGYAKARTA--Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada (UGM), khususnya Tim Dengue, mengembangkan alat yang spesifik untuk mendeteksi virus dengue di dalam darah seseorang yang menderita demam berdarah.

400 Pemuda Jakarta Timur Dapat Beasiswa

JAKARTA--Sejumlah 400 pelajar dan mahasiswa yang tinggal di Jakarta Timur mendapatkan beasiswa dari Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah (Bazis) Kota Administrasi Jakarta Timur. Penyerahan dilakukan secara simbolis oleh Walikota Jakarta Timur, Murdhani, di Ruang Serba Guna Kantor Walikota Jakarta Timur. Hadir menyaksikan acara tersebut: Kepala Bazis DKI, Amir Bahar dan Kepala Bazis Jakarta Timur, Chaerudin Hasan.
Chaerudin Hasan berpendapat distribusi bantuan biaya pendidikan tahap III yang dilakukan pihaknya ini diperuntukan bagi para pelajar Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) dan mahasiswa S1 yang ada di Jakarta Timur. Untuk tingkat SLTA yang menerima bantuan sebanyak 250 pelajar, sedangkan untuk mahasiswa sebanyak 150 orang.
“Untuk setiap pelajar menerima bantuan biaya pendidikan sebesar Rp 150 ribu per bulannya, sedangkan bagi mahasiswa menerima bantuan sebesar Rp 200 ribu per bulan,” kata Chaerudin, dalam laporannya, Rabu (3/2).
Dirinya berharap para pelajar dan mahasiswa yang menerima bantuan dari Bazis dapat belajar dengan sungguh-sungguh sehingga prestasi di sekolahnya dapat meningkat. “Para penerima beasiswa Bazis diharapkan dapat menjadi teladan bagi para pelajar dan mahasiswa lainnya,” pesan Chaerudin.
Pada kesempatan ini, Walikota Jakarta Timur mengatakan beasiswa ini adalah bentuk kepedulian Pemkot Jakarta Timur dibidang pembinaan mental dan spiritual untuk kemaslatan umat. “Kegiatan ini untuk menciptakan SDM yang handal dan pada akhirnya untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat,” ungkapnya di hadapan seluruh peraih beasiswa.
Walikota mengatakan bantuan biaya pendidikan ini berguna untuk memotivasi belajar, sekaligus meningkatkan kesejahteran dan meringankan beban ekonomi orang tua. “Jangan digunakan untuk keperluan lainnya,” pesan Walikota kepada para orang tua penerima beasiswa.
Murdhani pada kesempatan ini juga mengucapkan terima kasih kepada jajaran Bazis Jakarta Timur yang berhasil meningkatkan pengumpulan ZIS pada tahun 2009 hingga mencapai 229 persen dibandingkan tahun sebelumnya. “Saya berharap prestasi ini dapat ditingkatkan kembali karena potensi umat Islam di Jakarta Timur cukup besar,” ujarnya.
Pada tahun 2009 lalu, Bazis Jakarta Timur berhasil mengumpulkan dana ZIS sebesar Rp9.657.872.483 dari target yang ditetapkan sebesar Rp4.200.000.000. Hasil tersebut menempatkan Jakarta Timur sebagai pengumpul ZIS tertinggi di Provinsi DKI Jakarta.
“Untuk tahun 2010, Bazis Jakarta Timur mendapat target Rp 10 milyar dan Insya Allah target tersebut bisa tercapai dengan kerja sama seluruh masyarakat dan komponen yang ada,” harap Walikota. (Republika.co.id)

AS Kirimkan 20 Relawan Bahasa ke Jatim

SURABAYA--Pemerintah Amerika Serikat (AS) berencana mengirimkan sedikit-dikitnya 20 relawan bahasa ke Jawa Timur untuk mengajarkan bahasa Inggris di sekolah menengah atas (SMA). Direktur Pendidikan AS Perwakilan Indonesia, Kenneth A Puvak, di Surabaya, Selasa, mengatakan, pengiriman para penutur asli (native speaker) pada bulan Juli itu untuk merealisasikan program kerja sama AS-Indonesia.
"Penandatangan kerja sama bidang pendidikan Indonesia-AS itu dilakukan pada Desember 2009. Pekan lalu, kami sudah bertemu Beppenas, Mendiknas dan Menag," katanya usai bertemu Gubernur Jatim Soekarwo.
Menurut dia, Jatim menjadi provinsi pertama menjalankan program pengajaran bahasa Inggris di SMA dan tahun berikutnya pindah ke provinsi lain. Dia berharap, Pemprov Jatim turut terlibat langsung dengan memberikan saran dan masukan terkait program tersebut.
Menurut Puvak, untuk program awal memang kerja sama ini difokuskan pada bidang pendidikan. Selanjutnya bidang kesehatan, lingkungan hidup, dan UMKM. Selama dua tahun berada di Jatim, biaya hidup dan transportasi relawan, termasuk tiket pergi-pulang AS-Indonesia ditanggung pemerintah Amerika. Pihak sekolah atau Pemprov Jatim cukup menyediakan tempat tinggal bagi mereka selama menjalankan tugas pengajaran. (Republika.co.id)

Mahasiswa AS Ditahan karena Belajar Bahasa Arab

WASHINGTON--Seorang mahasiswa AS ditahan di bandara karena kedapatan membawa kartu-kartu bertuliskan bahasa arab. Nicholas George mahasiswa asal California yang berusia 22 tahun itu, sempat diinterogasi selama lima jam dikaitkan dengan terorisme.
Ia sempat diborgol dan diperlakukan layaknya pesakitan. George melalui Organisasi pembela hak-hak sipil, American Civil Liberties Union (ACLU), kemudian mengajukan tuntutan terhadap agen FBI dan polisi. Akibat penahanan di bandara itu, George ketinggalan pesawat ke California dan terpaksa bolos kuliah.
Ia juga memprotes penahanannya yang dikaitkan dengan buku yang dibawanya, yang berjudul "Rogue Nation: American Unilateralism and the Failure of Good Intentions," karangan Clyde Prestowitz.
Pemeriksaan yang dilakukan oleh staf Administrasi Keamanan Transportasi AS (TSA) menahan George dan ia merasa hal itu merupakan pelecehan berat. Selama berjam-jam ia dicecar pertanyaan seputar pandangannya mengenai peristiwa 9/11.
George ditanya apakah dia tahu "siapa yang melakukan 9 / 11," bahasa apa yang digunakan pemimpin Al Qaidah Osama bin Laden dan mengapa kartu-kartu bahasa inggris-arab itu "mencurigakan."
Ia kemudian diborgol dan ditinggalkan di sel terkunci selama dua jam sebelum dua agen FBI menginterogasinya. ACLU menambahkan bahwa klien mereka tidak pernah diberitahu tentang hak-haknya atau menjelaskan mengapa ia ditahan.
George mengambil jurusan fisika sekaligus studi Timur Tengah belajar di Pomona College, California. Saat diinetrogasi, ia juga ditanyai tentang perjalanannya ke negara-negara muslim dan berbahasa Arab, termasuk Yordania di mana dia menghabiskan satu semester belajar di luar negeri, dan yang juga dicecar mengenai siapa saja yang ia temui di sana.
"Sebagai orang yang bepergian dengan pesawat, saya ingin petugas bandara melakukan tugas mereka untuk menjaga penerbangan aman, tapi saya tidak mengerti bagaimana menahan dan melecehkan saya hanya karena aku membawa flashcards membuat orang lebih aman" paparnya seperti dilansifr AFP.
Gugatan ini menitikberatkan pada tuduhan pelanggaran hak konstitusional untuk kebebasan berbicara dan untuk bebas dari tekanan yang tidak masuk akal.
George telah belajar bahasa Arab sejak tahun pertamanya di universitas untuk dapat membaca dan memahami apa yang sedang dilaporkan dan diperdebatkan di surat kabar Timur Tengah, program televisi dan publikasi atau media lain.
Dengan menggunakan kartu-kartu kecil, bertuliskan huruf arab di satu sisi dan artinya dalam bahasa inggris di sisi lain, ujar George, sangat membantunya belajar bahasa. George mengaku belajar bahasa Arab karena bahasa ini digunakan oleh puluhan juta orang di seluruh dunia dan ia menganggap tidak ada salahnya dengan itu. "Apa salahnya belajar baasa Arab," tukasnya.
Pengacara ACLU menganggap langkah ini merupakan pelecehan dan hambatan bagi para pengguna transportasi udara, buang-buang waktu dan pelanggaran Undang-Undang Dasar." (Republika.co.id)

Senin, 08 Februari 2010

Sejarah Islam Di Indonesia

Pada tahun 30 Hijri atau 651 Masehi, hanya berselang sekitar 20 tahun dari wafatnya Rasulullah SAW, Khalifah Utsman ibn Affan R.A. mengirim delegasi ke Cina untuk memperkenalkan Daulah Islam yang belum lama berdiri. Dalam perjalanan yang memakan waktu empat tahun ini, para utusan Utsman ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 674 M, Dinasti Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di pantai barat Sumatera. Inilah perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan Islam. Sejak itu para pelaut dan pedagang Muslim terus berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari negeri nan hijauini sambil berdakwah.Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam meskipun belum secara besar-besaran. Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali menerima agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H / 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi., yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H / 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi'i. Adapun peninggalan tertua dari kaum Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang salah satu diantaranya adalah makam seorangMuslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H / 1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan Singasari.Diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab.Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara besar-besaran. Baru pada abad ke-9 H /14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam dan para pendatang Arab. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas Arnold dalamThe Preaching of Islammengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara yangbenar-benar menunjukkannya sebagairahmatan lil'alamin.Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan terbentuknya pemerintahan-pemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan ini, perdagangan dengan kaum Muslimin dari pusat dunia Islam menjadi semakin erat. Orang Arab yang bermigrasi ke Nusantara juga semakin banyak. Yang terbesar diantaranya adalah berasal dari Hadramaut, Yaman. DalamTarikh Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang sejarah Hadramaut. Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani berdatangan dan dengan rakusnya menguasai daerah-demi daerah di Nusantara, hubungan dengan pusat dunia Islam seakan terputus. Terutama di abad ke 17 dan 18 Masehi. Penyebabnya, selain karena kaum Muslimin Nusantara disibukkan oleh perlawanan menentang penjajahan, juga karena berbagai peraturan yang diciptakan oleh kaum kolonialis. Setiap kali para penjajah - terutama Belanda - menundukkan kerajaan Islam di Nusantara, mereka pasti menyodorkan perjanjian yang isinya melarang kerajaan tersebut berhubungan dagang dengan dunia luar kecuali melalui mereka. Maka terputuslah hubungan ummat Islam Nusantara dengan ummat Islam dari bangsa-bangsa lain yang telah terjalin beratus-ratus tahun. Keinginan kaum kolonialis untuk menjauhkan ummat Islam Nusantara dengan akarnya, juga terlihat dari kebijakan mereka yang mempersulit pembauran antara orang Arab dengan pribumi.Semenjak awal datangnya bangsa Eropa pada akhir abad ke-15 Masehi ke kepulauan subur makmur ini, memang sudah terlihat sifat rakus mereka untuk menguasai. Apalagi mereka mendapati kenyataan bahwa penduduk kepulauan ini telah memeluk Islam, agama seteru mereka, sehingga semangat Perang Salib pun selalu dibawa-bawa setiap kali mereka menundukkan suatu daerah. Dalam memerangi Islam mereka bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan pribumi yang masih menganut Hindu / Budha. Satu contoh, untuk memutuskan jalur pelayaran kaum Muslimin, maka setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, Portugis menjalin kerjasama dengan Kerajaan Sunda Pajajaran untuk membangun sebuah pangkalan di Sunda Kelapa. Namun maksud Portugis ini gagal total setelah pasukan gabungan Islam dari sepanjang pesisir utara Pulau Jawa bahu membahu menggempur mereka pada tahun 1527 M. Pertempuran besar yang bersejarah ini dipimpin oleh seorang putra Aceh berdarah Arab Gujarat, yaitu Fadhilah Khan Al-Pasai, yang lebih terkenal dengan gelarnya, Fathahillah. Sebelum menjadi orang penting di tiga kerajaan Islam Jawa, yakni Demak, Cirebon dan Banten, Fathahillah sempat berguru di Makkah. Bahkan ikut mempertahankan Makkah dari serbuan Turki Utsmani.Kedatangan kaum kolonialis di satu sisi telah membangkitkan semangat jihad kaum muslimin Nusantara, namun di sisi lain membuat pendalaman akidah Islam tidak merata. Hanya kalangan pesantren (madrasah) saja yang mendalami keislaman, itupun biasanya terbataspada mazhab Syafi'i. Sedangkan pada kaum Muslimin kebanyakan, terjadi percampuran akidah dengan tradisi pra Islam. Kalangan priyayi yang dekat dengan Belanda malah sudah terjangkiti gaya hidup Eropa. Kondisi seperti ini setidaknya masih terjadi hingga sekarang. Terlepas dari hal ini, ulama-ulama Nusantara adalah orang-orang yang gigih menentang penjajahan. Meskipun banyak diantaramereka yang berasal dari kalangan tarekat, namun justru kalangan tarekat inilah yang sering bangkit melawan penjajah. Dan meskipada akhirnya setiap perlawanan ini berhasil ditumpas dengan taktik licik, namun sejarah telah mencatat jutaan syuhada Nusantara yang gugur pada berbagai pertempuran melawan Belanda. Sejak perlawanan kerajaan-kerajaan Islam di abad 16 dan 17 seperti Malaka (Malaysia), Sulu (Filipina), Pasai, Banten, Sunda Kelapa, Makassar, Ternate, hingga perlawanan para ulama di abad 18 seperti Perang Cirebon (Bagus rangin), Perang Jawa (Diponegoro), Perang Padri (Imam Bonjol), dan Perang Aceh (Teuku Umar).(Bersambung). Wallohu A'lam. (www.esa.wen9.com )

Syekh 'Abd Al-Ra'uf Al-Sinkili

Dalam konteks pertumbuhan intelektualisme pesantren di daratan Melayu sekitar abad ke-17, peranan Syekh ‘Abd Al-Ra’uf Al-Sinkili dapat dibilang sangat menonjol. Pasalnya, dari kejeliannya mendidik para santri berhasil melahirkan ulama-ulama terkemuka, baik di Pulau Sumatera maupun pulau lain di Nusantara. Sebutlah, misalnya, Syekh Burhan Al-Din Abulung, ulama Minangkabau, Syekh ‘Abd Allah Al-Muhyi, ulama Jawa, dsb.

Syekh ‘Abd Al-Ra’uf Al-Sinkili juga dikenal, karena kepionerannya bisa berdiri di antara dua kubu yang bergulat secara intens dalam kontrovesi seputar paham wujudiyyah. Sebagaimana diketahui masyarakat banyak, Syekh ‘Abd Al-Ra’uf hidup pada saat dunia pesantren pada khususnya dan Islam Melayu umumnya sedang dilanda kontroversi dan pertikaian seputar masalah wujudiyyah, antara kubu Hamzah Fansuri dan Syams Al-Din Al-Sumaterani, sebagai pelopor, dan kubu Nur Al-Din Al-Raniri, sebagai penentang.

Memang kontroversi dan pertikaian antara kubu Hamzah Fansuri dan kubu Al-Raniri, sebagaimana dikatakan Azyumardi Azra, terjadi ketika Al-Sinkili belum terlibat dalam ranah intelektualisme Islam. Tepatnya sebelum ia berangkat ke Arabia sekitar 1052 H/1642 M. Bahkan tidak ada indikasi sama sekali yang menunjukkan bahwa Al-Sinkili memiliki hubungan pribadi dengan Al-Raniri yang menjadi mufti di Aceh pada masa antara 1047 H/1637 M hingga 1054 H/1644-1645 M (Azyumardi Azra, 1994). Namun demikian, dia paham tentang ajaran Hamzah Fansuri dan Syams Al-Din serta fatwa "sesat" dan pembunuhan yang dijatuhkan Al-Raniri atas pengikut mereka.

Sebagai tokoh yang hidup di tengah kontroversi isu keislaman, Al-Sinkili tergolong sosok fenomenal. Bagaimana tidak demikian? Ia pernah berguru kepada Syams Al-Din Al-Sumaterani, tapi semangat tulisan-tulisan Al-Sinkili menunjukkan bahwa dia berbeda dari Hamzah maupun Syams Al-Din. Menariknya lagi, walau ia tidak pernah berguru dengan Al-Raniri, tapi pemikirannya ada banyak kemiripan dengan pemikiran "musuh" gurunya itu. Mungkin karena faktor inilah, dalam tulisan-tulisannya tidak ditemukan data yang secara gamblang menentang ajaran-ajaran Hamzah dan Al-Sumaterani. Al-Sinkili bahkan mengecam sikap radikal Al-Raniri. Dengan bijaksana ia mengingatkan kaum muslimin Nusantara akan bahayanya menuduh sesama muslim sebagai orang sesat atau kafir.

Momentum pembaharuan intelektualisme Islam Al-Sinkili dilakukan setelah ia pulang ke Aceh sekitar 1584 H/1661 M dari pengembaraannya di Arabia selama 19 tahun. Di mana ketika itu, aura pembaharuan di tanah Melayu-Nusantara yang dirintis Al-Raniri tengah mengalami kemunduran politis sejak ia digeser oleh Sayf Al-Rijal, salah seorang pengikut Syam Al-Din Al-Sumatrani dan meninggalkan Aceh menuju ke kota kelahirannya, Ranir, pada 1054 H/1644-1645 M. Dalam konteks ini, determinasi pembaruan Al-Sinkili ditekankan pada upaya rekonsiliasi, memadukan secara simfoni implementasi antara syariah dan tasawuf.

Kelahiran dan Pendidikan Al-Sinkili
‘Abd Al-Ra’uf b. ‘Ali Al-Fansuri Al-Sinkili, sebagaimana diasumsikan Rinkes, dilahirkan pada sekitar tahun 1024 H/1615 M. Menurut Peunoh Daly, ayah Al-Sinkili, Syeikh ‘Ali Al-Fansuri merupakan pendatang Arab yang berhasil mengawini seorang wanita pribumi asal Fansur (Barus), sebuah kota pelabuhan penting di Sumatera Barat dan penghasil utama kapur barus. Di daerah ini pula keluarga ‘Abd Al-Ra’uf berdomisili. Sementara itu, ada versi lain dari Hasymi yang menyebutkan, bahwa nenek moyang Al-Sinkili berasal dari Persia yang mengadakan perjalanan dagang ke Samudera Pasai sekitar abad ke-13, dan kemudian menetap di Fansur.

Kemungkinan bahwa ayah Al-Sinkili bukan orang Melayu memang amat besar. Sebab sebagaimana diketahui khalayak, Samudera Pasai dan Fansur dulunya seringkali dikunjungi para pedagang Arab, Persia, India, dan Yahudi, setidak-tidaknya sejak abad ke-9. Walaupun, tidak ada informasi pasti yang mendukung tentang riwayat ayah Al-Sinkili tersebut.

‘Abd Al-Ra’uf Al-Sinkili mendapatkan pendidikan awalnya di desa kelahirannya, Singkel, terutama dari ayahnya, yang dikenal sebagai seorang alim yang mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan di Fansur. Fansur sendiri pada masa itu terkenal sebagai pusat pengkajian Islam serta titik penghubung antara Islam Melayu dengan Islam di Asia Barat dan Asia Selatan.

Dari Fansur, Al-Sinkili kemudian mengadakan perjalanan ke Banda Aceh, ibukota Kesultanan Aceh, untuk belajar antara lain kepada Syams al-Din al-Samaterani (w. 1040 H/1630 M) pada usia belasan tahun. Adapun anggapan yang menyebut Al-Sinkili pernah belajar kepada Hamzah Fansuri, agaknya perlu dibuktikan lebih jauh lagi, karena Al-Sinkili tidak pernah bertemu dengan Hamzah. Ini bisa dilihat dari tahun kematian Hamzah (w. 1016 H/1607 M) dan tahun kelahiran Al-Sinkili (1024 H/1615 M).

Pada tahun 1052 H/1642 M, Al-Sinkili berangkat ke Arabia untuk menuntut ilmu pengetahuan. Setidaknya ada dua alasan Al-Sinkili berangkat ke Arabia:

Pertama, tanah Haramain sejak abad ke-12 M merupakan pusat kebangkitan keilmuan Sunni melalui madrasah-madarsah yang berdiri di sana. Menurut Taqi Al-Din Al Fasi Al-Makki Al-Maliki, madrasah yang pertama ada di Mekkah adalah madrasah Al-‘Ursufiyah yang didirikan pada 571 H/1175 M oleh ‘Afifi ‘Abd Allah Muhammad Al-‘Ursufi (w. 595 H/1196 M), yang terletak sebelah selatan Masjid al-Haram. Setelah itu, sampai abad ke-17 M terdapat setidaknya 19 madrasah di Mekkah.

Meski perkembangan madrasah cukup fenomenal, tetapi karena lemahnya pengawasan dan pembiayaan pendidikan yang hanya mengandalkan wakaf, maka kehidupan madrasah sering terlantar, bahkan gulung tikar. Oleh karena itu, walaupun banyak madrasah, kebanyakan ulama Haramain lebih senang mengafiliasikan diri dengan Masjid al-Haram dan Masjid al-Nabawi yang jauh lebih sejahtera secara finansial. Pada abad ke-16 dan ke-17, di samping lembaga pendidikan madrasah dan kajian keislaman di Masjid al-Haram dan Masjid al-Nabawi, berdiri pula zawiyah, khanqah atau ribath dalam jumlah besar. Di Mekkah saja ada sekitar 50 ribath, sedangkan di Madinah tercatat tidak kurang dari 30 ribath.

Kedua, Arabia, khususnya Haramain ketika itu merupakan pusat intelektualisme Islam. Mekkah dan Madinah membuka diskursus intelektual kosmopolitan atas berbagai kasus yang muncul dari berbagai belahan Dunia Islam. Di sinilah figur para ulama dan intelektual dari berbagai aliran dan paham keagamaan bertemu membentuk suatu jaringan. Di antara mereka ada nama Ibrahim b. ‘Abd Allah b. Jam’an (w. 1083 H/1672 M), Ishaq b. Muhammad b. Jam’an (1014-1096 H/1605-1685 M), ‘Abd Al-Rahim b. Al-Shiddiq Al-Khash, ‘Abd Allah b. Muhammad Al-Adani, Sayyid Al-Thahir b. Al-Husayn Al-Ahdal, Muhammad ‘Abd Al-Baqi Al-Mizjaji (w. 1074 H/1664 M), ‘Abd Al-Qadir Al-Barkhali, ‘Ali b. ‘Abd Al-Qadir Al-Thabari, Ahmad Qusyasyi (991 H/1583 M-1071 H/1661 M), Ibrahim Al-Kurani (1023 H/1614 M-1102 H/1690 M), dan lain-lainnya.

Dari nama-nama ulama di atas yang berasal dari beragai wilayah di Arabia dan dari berbagai disiplin keilmuan, Al-Sinkili banyak berguru ilmu pengetahuan. Dan ini menunjukkan bahwa ia telah berusaha secara langsung masuk ke dalam jaringan intelektual di Timur Tengah. Kemudian dalam posisi sebagai pengembara ilmu pengetahuan dari pinggiran Dunia Islam, setelah merasa sudah menguasai ilmu secara memadai dan memperoleh otoritas untuk mengajar (ijazah) dari gurunya, maka Al-Sinkili kembali ke negerinya, Aceh Darussalam untuk menjadi transmitter utama tradisi keagamaan pusat-pusat keilmuan Haramain, dengan membawa ilmu, gagasan, dan metode yang dipelajari di sana.

Alasan di atas amat paralel kiranya, manakala dirujuk kepada karyanya, ‘Umdat al-Muhtajin ila Suluk Maslak al-Mufridin, di mana Al-Sinkili secara rinci menulis daftar nama gurunya selama di Arabia, dan 27 ulama lainnya, yang dengan mereka dia mempunyai kontak dan hubungan pribadi.

Selama masa 19 tahun di Arabia, Al-Sinkili belajar di sejumlah tempat yang tersebar sepanjang rute haji: dari mulai Doha di Qatar, Yaman, Jeddah, dan akhirnya Mekkah dan Madinah. Jadi, dia memulai studinya di Doha, Qatar, di mana dia belajar dengan ‘Abd Al-Qadir Al-Mawrir, walaupun hanya sebentar.

Dari Doha, Al-Sinkili melanjutkan studinya di Yaman, terutama di Bait Al-Faqih dan Zabid, meskipun dia juga mempunyai beberapa guru di Mawza’, Mukha, Al-Luhayyah, Hudaidah, dan Ta’izz. Bait Al-Faqih dan Zabid merupakan pusat-pusat pengetahuan Islam yang paling penting di wilayah ini. Di Bait Al-Faqih, dia belajar dengan para ulama dari keluarga Ja’man, sebuah keluarga sufi-ulama terkemuka di Yaman yang menjadi pilar masyarakat Yaman pada masa itu.

Atas saran keluarga inilah, khususnya ‘Abd Allah b. Jam’an dan Ishaq b. Jam’an, Al-Sinkili bisa berkhidmat dan belajar pada dua guru terkemukanya, Al-Qusyasyi dan Al-Kurani di Madinah. Ibrahim b. ‘Abd Allah b. Ja’man (w. 1083 H/1572 M), dikenal sebagai seorang muhaddits (ahli hadits) dan ahli fiqh. Darinya, Al-Sinkili mempelajari ilmu al-zahir (ilmu pengetahaun eksoteris), seperti fiqh, hadits, dan disiplin-disiplin keilmuan lain yang terkait. Di samping itu, Ibrahim b. ‘Abd Allah b. Jam’an adalah seorang pemberi fatwa yang produktif. Maka wajar bila Al-Sinkili melewatkan sebagian besar waktunya bersama tokoh satu ini, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Umdat al-Muhtajin ila Suluk Maslak al-Mufridin.

Selain ‘Abd Allah, guru utama Al-Sinkili dari keluarga Jam’an lainnya adalah Ishaq b. Muhammad b. Ja’man (w. 1014-1096 H/1605-1685 M), seorang ulama di Bait al-Faqih yang terkenal sebagai seorang faqih dan muhaddits terkemuka di wilayah itu.

Di Zabid, Yaman, Al-Sinkili belajar kepada ‘Abd Al-Rahim b. Al-Shiddiq Al-Qusyasyi, dan ‘Abd Allah b. Muhammad Al-‘Adani, yang disebut Al-Sinkili sebagai pembaca (‘qari) Al-Qur’an terbaik di wilayah itu. Dia juga menjalin hubungan dengan para ulama terkemuka Zabid lainnya, seperti ‘Abd Al-Fattah Al-Khash, mufti Zabid; Sayyid Al-Thahir b. Al-Husain Al-Ahdal; dan Muhammad ‘Abd Al-Baqi Al-Mizjaji, seorang syekh Naqsyabandiyyah yang termashur (w. 1074 H/1664 M).

Berikutnya di Jeddah, ia belajar dengan mufti Jeddah, ‘Abd Al-Qadir Al-Barkhali, kemudian terus ke Mekkah. Di sana ia belajar pada beberapa guru pula, di antaranya kepada ‘Ali b. Abd Al-Qadir Al-Thabari, seorang faqih terkemuka di kota suci itu atas saran keluarga Jam’an di Yaman.

Tahap terakhir dari perjalanan panjang Al-Sinkili dalam menuntut ilmu adalah Madinah. Di kota Nabi inilah, ia merasa puas karena dapat menyelesaikan pelajarannya. Dia belajar di Madinah dengan Ahmad Al-Qusyasyi sampai meninggalnya pada 1071 H/1660 M, dan khalifahnya, Ibrahim Al-Kurani.

Dengan Al-Qusyasyi, selama beberapa tahun, Al-Sinkili mempelajari ilmu batin (ilmu pengetahuan esoteris), yaitu tasawuf dan ilmu-ilmu lainnya yang menunjukannya sebagai khalifah Syathariyyah dan Qadiriyyah. Sedangkan dengan Ibrahim Al-Kurani, Al-Sinkili, di samping mewarisi intelektualitas keislaman Al-Kurani juga mewarisi kepribadiannya sebagaimana tercermin dalam karya-karyanya. Dengan kata lain, bagi Al-Sinkili, Al-Qusyasyi adalah guru spiritual dan mistisnya, sementara Al-Kurani lebih menjadi guru intelektualnya.

Kepribadian Al-Kurani yang diteladani oleh Al-Sinkili menunjukkan bahwa hubungan pribadi Al-Sinkili dengan Al-Kurani sangat erat. Bahkan salah satu karya besar Al-Kurani, Ithaf al-Dzaki, ditulis atas permintaan "Ashhab al-Jawiyyin" yang menurut A. H. John kemungkinan besar adalah Al-Sinkili. Asumsi ini menurut Azra (1994) bisa diterima kebenarannya ketika mempertimbangkan kenyataan bahwa Al-Sinkili, setelah kembali ke Aceh, sering meminta pendapat Al-Kurani mengenai berbagai hal yang berhubungan dengan kondisi keberagamaan di Aceh, mulai dari cara Al-Raniri melancarkan pembaruannya di Aceh sampai mempertanyakan masalah zikir kematian, seperti tertulis dalam penutup bukunya yang berjudul Lubb al-Kasyr wa al-Bayan lima Yarah al-Muhtadhar.

Sebagaimana disebutkan dalam kitab ‘Umdat al-Muhtajin ila Suluk Maslak al-Mufridin, meski Al-Sinkili belajar kepada 19 orang guru di berbagai wilayah di Arabia, ia juga menjalin hubungan keilmuan dengan tidak kurang dari 27 ulama terkemuka lainnya. Ia memang tidak menjelaskan sifat hubungannya dengan mereka, tetapi tidak diragukan lagi bahwa dia mendapatkan keuntungan besar dari mereka. Dapat dipastikan bahwa mereka, sedikitnya turut memberi inspirasi dan mendorong terbentuknya cakrawala sosio-intelektualnya yang jauh lebih luas.

Di antara mereka ada nama-nama seperti ‘Isa Al-Maghribi, ‘Abd Al-‘Aziz Al-Zamzami, Taj Al-Din b. Ya’qub, ‘Ala Al-Din Al-Babili, Zain Al-‘Abidin Al-Thabari, ‘Ali Jamal Al-Makki dan ‘Abd Allah b. Sa’id Ba Qasyir Al-Makki (1003-1076 H/1595-1665 M) yang hidup di Mekkah. Juga ada ulama-ulama terkemuka Madinah seperti Mulla Muhammad Syarif Al-Kurani, Ibn ‘Abd Al-Rasul Al-Barzanji dan Ibrahim b. ‘Abd Al-Rahman Al-Khiyari Al-Madani --murid ‘Ala Al-Din Al-Babili, Ibrahim Al-Kurani, dan ‘Isa Al-Maghribi, dan ‘Ali Al-Bashi Al-Maliki Al-Madani (w.1160 H/1694 M), seorang muhaddits terkenal di sana.

Itulah perjalanan intelektual Al-Sinkili. Datang dari wilayah pinggiran dari dunia Islam, dia memasuki inti jaringan ulama dan dapat merebut hati sejumlah ulama utama di Arabia. Disiplin keilmuannya sangat kompleks: dari syariat, fiqh, hadits, hingga kalam dan tasawuf atau ilmu-ilmu esoteris. Fakta bahwa sebagian besar guru-gurunya dan kenalan-kenalannya tercatat dalam kamus-kamus biografi Arab menunjukkan keunggulan yang tak tertandingi dari lingkungan intelektualnya. Karier dan karya-karyanya setelah ia kembali ke Nusantara merupakan sejarah dari usaha-usahanya yang dilakukan secara sadar untuk menanamkan kuat-kuat keselarasan antara syariat dan tasawuf.

Karier Al-Sinkili dan Kondisi Sosio-Politik Aceh
Karier intelektual Al-Sinkili agaknya telah dimulai sejak ia masih di Haramain. Ini disebabkan, karena menjelang datang ke Arabia ia telah memiliki pengetahuan yang memadai untuk disampaikan kepada sesama kaum Muslim Melayu-Indonesia. Selama di sana, Al-Sinkili juga menginisiasi para pelajar dari Jawa (Nusantara) ke tarekat Syathariyyah. Tetapi ada juga silsilah-silsilah tarekat Syathariyyah di Jawa (Nusantara) yang mengacu langsung kepada Ahmad Al-Qusyasyi, dan bukannya melalui Al-Sinkili. Snouck Hugronje dalam buku The Achehnese mengisyaratkan, Al-Qusyasyi menunjuk khalifah-khalifah tarekat Syathariyah Melayu-Nusantaranya semasa mereka menjalankan ibadah haji.

Karier intektual Al-Sinkili kemudian diilanjutkan setelah ia pulang ke tanah airnya, Aceh Darusssalam pada tahun 1584 H/1661 M. Tepatnya, setelah kematian Al-Qussyasyi dan setelah Al-Kurani mengeluarkan untuknya sebuah ijazah untuk menyebarkan pengajaran dan ilmu yang telah dia terima darinya. Ketika itu, Aceh dipimpin oleh Sultanah Shafiyat Al-Din, yang menjadi pelindung Al-Raniri selama dua setengah tahun, sebelum berpaling kepada Sayf Al-Rijal, salah seorang pengikut Syam Al-Din Al-Sumaterani.

Kedatangan Al-Sinkili dengan berbagai informasi tentang keluasan ilmu pengetahuan dan lingkungan intelektualnya yang sampai lebih dahulu ke Aceh menciptakan rasa penasaran penduduk Aceh, terutama di kalangan istana. Tidak lama kemudian Al-Sinkili dikunjungi seorang pejabat istana, Sri Raja b. Hamzah Al-Asyi, Sekretaris Rahasia Sultanah, yang mengemukakan pertanyaan-pertanyaan yang tidak jelas tentang masalah keagamaan. Al-Asyi diutus Sultanah Shafiyat Al-Din untuk menyelidiki pandangan-pandangan keagamaan Al-Sinkili. Jelaslah, Al-Sinkili berhasil lulus dari "ujian" itu, sebab dia segera merebut hati kalangan istana. Kemungkinan besar, ia ditunjuk Sultanah Shafiyat Al-Din menggantikan Sayf Al-Rijal untuk menduduki jabatan sebagai Qadhi Malik al-‘Adil atau Mufti, yang bertanggung jawab atas administrasi masalah-masalah keagamaan.

Perlu diinformasikan juga, kondisi Aceh di awal kembalinya Al-Sinkili dari Arabia sedang dalam kekacauan agama dan kemunduran politik. Kekacauan agama ditandai dengan peristiwa besar, berupa pertentangan antara mistiko-filosofis wahdatul wujud yang dikembangkan Hamzah Fansuri dan Syams Al-Din Al-Sumaterani dan ajaran Asy’ariyyah yang dikembangkan Al-Raniri yang berakhir dengan fatwa "sesat" dan "pembunuhan" terhadap pengikut keduanya. Sementara itu, kemunduran politik di Aceh ditandai dengan banyaknya wilayah di bawah kekuasaan Sultanah Shafiyat Al-Din di semenanjung Melayu dan Sumatera melepaskan diri dari pemerintah pusat.

Kekacauan politik ini -walaupun tidak sampai menimbulkan perebutan kekuasaan- juga berlanjut kepada masalah kepemimpinan perempuan dalam hukum Islam, yang tidak tepecahkan di kalangan orang-orang Aceh, karena para ulama di sana juga tidak bisa menjawabnya. Bahkan Al-Sinkili pun, tampaknya ia tidak berhasil menjawabnya secara gamblang. Dalam karya fiqhnya, Mir’at Al-Thullab, dia tidak membahas masalah itu secara langsung. Ketika membicarakan tentang syarat-syarat untuk menjadi hakim (secara lebih luas, penguasa), Al-Sinkili tampaknya secara sengaja tidak memberikan terjemahan Melayu untuk kata dzakr (laki-laki).

Pertanyaan ini terus mengemuka, karena pada periode paruh abad ke-17 hingga akhir abad ke-17, kesultanan Aceh diperintah oleh empat orang Sultanah berturut-turut. Sultanah pertama adalah Shafiyat al-Din, yang menggantikan suaminya, Iskandar Tsani pada 1051 H/1641 M dan memerintah dalam tempo relatif lama hingga 1086 H/1675 M. Sultanah berikutnya, Nur Al-‘Alam Naqiyat Al-Din, setelah memerintah selama tiga tahun (1086-1088 H/1675-1678 M) digantikan Zakiyat Al-Din (1088-1098 H/1678-1688 H). Sedangkan Sultanah terakhir adalah Kamalat Al-Din (1098-1109 H/1688-1699 M).

Oleh karena itu, ketika Sultanah Zakiyat Al-Din menerima suatu delegasi dari Syarif Mekkah pada 1096 H/1683 M: -yang sejatinya akan menemui Sultan Moghul, Aurangzeb, tetapi ia menolak menerimanya. Dan delegasi itu pun putar haluan datang ke Aceh dengan membawa surat-surat dan hadiah-hadiah untuk Sultanah: Maka ia sangat gembira dan meminta mereka tinggal sebentar di ibukota, sekaligus ia mempersiapkan hadiah-hadiah untuk Syarif Mekkah. Dilaporkan, pada saat itu, Sultanah atas nama masyarakat Aceh mengirim hadiah-hadiah dan shadaqah yang terdiri atas, antara lain, sebuah patung terbuat dari emas yang diambil dari reruntuhan istana dan Masjid Baiturrahman yang terbakar pada masa pemerintahan Sultanah Naqiyat Al-Din.

Kedatangan delegasi Syarif Mekkah ke Aceh dianggap prestise oleh Sultanah Zakiyat Al-Din, dan rakyat Aceh pun memanfaatkan kedatangan mereka itu dengan menanyakan seputar kepemimpinan perempuan dalam hukum Islam. Namun demikian, delegasi Mekkah tidak mau langsung memberikan jawaban pertanyaan itu, tetapi membawa persoalan tersebut ke sidang para ulama Haramain. Jawaban masalah kepemimpinan perempuan itupun akhirnya baru datang dari Mekkah ke istana Aceh selang lima dekade semenjak Kesultanan Aceh di bawah tampuk kepemimpinan sultanah. Yakni, tepatnya, ketika masa kepemimpinan Zakiyat Al-Din telah berakhir dan digantikan Sultanah Kamalat Al-Din (1098-1109 H/1688-1699 M). Mufti kepala di Mekkah dikabarkan mengirimkan sebuah fatwa yang menyatakan, bahwa kepemimpinan perembuan bertentangan dengan hukum Islam. Akibatnya, Kamalat Al-Din diturunkan dari tahta, dan ‘Umar b. Qadi Al-Malik Al-‘Adil Ibrahim diangkat sebagai sultan dengan gelar Sultan Badr Al-Alam Syarif Hasyim Ba Al-‘Alawi Al-Husaini, sekaligus menjadi titik tolak berdirinya Dinasti Arab, Jamal Al-Lail, di Aceh.

Dalam kapasitasnya sebagai Qadli Malik al-‘Adil (mufti kerajaan yang bertanggung jawab terhadap urusan keagamaan), Al-Sinkili diduga terlibat langsung dengan kejadian tersebut, walaupun tidak ditemukan peran pastinya dalam menerima tamu dari Mekkah tersebut. Juga dipastikan, bahwa ia mengetahui tentang kepemimpinan perempuan menurut Islam. Tetapi sikapnya yang tidak keras dalam memberi fatwa dan menerima kepemimpinan perempuan adalah indikasi lebih jauh dari toleransi pribadinya, suatu ciri yang amat mencolok pada diri Al-Sinkili. Walaupun secara tidak langsung, ia telah dituduh mengkompromikan integritas intelektualnya karena persoalan tersebut.

Dengan demikian, meski menghadapi berbagai kesulitan politik, dan pandangan yang beragam dalam masalah keagamaan, apalagi dengan kedatangan delegasi dari Syarif Mekkah, realitas tersebut menunjukkan kesultanan Aceh masih merupakan entitas politik Muslim yang tetap harus diperhitungkan.

Karya, Pemikiran dan Pembaruan Al-Sinkili
Mengenai karya, pemikiran dan pembaruan Al-Sinkili, tulisan ini akan menggunakan gaya penulisan integratif, bukan parsial. Karena, dari data-data (karya-karya intelektual) Al-Sinkili dari berbagai disiplin kelimuan, yang jumlahnya tidak kurang dari 22 buah buku, dapat dijadikan cerminan pemikiran dan pembaruannya.

Selama masa karier intelektual maupun politiknya yang panjang di Kesultanan Aceh, terjadi patronase antara Al-Sinkili dan para Sultanah yang berkuasa. Ini bisa dilihat dari karya fiqhnya, Mir’at al-Thullab fi Taysir al-Ma’rifat al-Ahkam al-Syar’iyyah li al-Malik al-Wahhab, yang ditulis atas permintaan Sultanah Shafiyat al-Din, dan diselesaikan pada 1074 H/1663 M. Juga, karyanya berupa penjelasan (syarh) atas kitab hadits ‘Arbain Nawawiyah yang ditulis atas permintaan Sultanah Zakiyat Al-Din. Selain itu, masih ada 20 lagi karyanya yang membahas tentang berbagai disiplin ilmu: fiqh, tafsir, kalam, dan tasawuf.

Yang menarik, tulisan-tulisan Al-Sinkili kebanyakan diformulasikan berdasarkan konteks sosio-historis masyarakt Melayu, di samping juga mempertimbangkan tingkat kemampuan murid-muridnya yang kebanyakan masih awam dalam seluk beluk keagamaan. Meskipun, ia lebih suka menulis dalam bahasa Arab. Karena ia menyadari bahasa Melayunya tidak begitu bagus, setelah kepergiannya yang cukup lama ke Arabia. Untuk keperluan penulisan dalam bahasa Melayu Sumatera, yang dalam istilah Al-Sinkili disebut Lisan al-Jawiyyat al-Samatra’iyyah, ia dibantu oleh beberapa guru bahasa Melayu yang berdomisili di Aceh.

Menurut Azyumardi Azra, dalam seluruh tulisannya, Al-Sinkili, seperti gurunya Al-Kurani, tampak menunjukkan bahwa perhatian utamanya adalah rekonsiliasi antara syariat dan tasawuf, atau dalam istilahnya sendiri, antara ilmu lahiriah dan ilmu batiniyah. Karena itu, ajaran-ajaran yang diusahakannya untuk disebarkan di wilayah Melayu-Nusantara adalah ajaran-ajaran yang termasuk ke dalam neo-sufisme.

Mir’at al-Thullab fi Tashil Ma’rifat al-Ahkam al-Syari’iyyah li Al-Malik Al-Wahhab adalah karya pertama ulama Melayu-Nusantara di bidang fiqh mu’amalah, yang membahas secara komprehensif tentang masalah politik, sosial, ekonomi, dan keagamaan kaum Muslimin. Sebagai perbandingan, karya ini berbeda dengan Shirath al-Mustaqim karya Al-Raniri yang hanya membahas tentang aspek ibadah saja. Karena mencangkup topik-topik yang begitu luas, ia jelas merupakan suatu karya terpenting di bidang tersebut.

Sumber utama karya ini adalah Fath al-Wahhab karya Zakariyya Al-Anshari. Tetapi Al-Sinkili juga mengambil bahan dari buku-buku standar seperti Fath al-Jawab dan Tuhfat al-Muhtaj, keduanya karya Ibn Hajar Al-Haytsami (w. 973 H/1565 M); Nihayat al-Muhtaj karya Syams Al-Din Al-Ramli; Tafsir al-Baydhawi karya Ibn ‘Umar Al-Baydhawi (w. 685 H/1286 M); dan Syarh Shahih Muslim karya Al-Nawawi (w.676 H/1277 M).

Melalui Mir’at al-Thullab, Al-Sinkili tampak ingin menunjukkan kepada kaum Muslim Melayu, bahwa doktrin-doktrin hukum Islam tidak terbatas pada ibadah saja, tetapi juga mencakup seluruh aspek kehidupan sehari-hari, seperti pernikahan (munakahat), jinayat, dan pengadilan-pengadilan dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang mencuat di tengah masyarakat.

Secara lebih umum, pemikiran fiqh mu’amalah Al-Sinkili di bidang politik dan peradilan agama, tampak dari keterlibatannya secara aktif dalam pemerintahan Kesultanan Aceh selama ia menjabat sebagai Qadli al-Malik al-‘Adil atau mufti yang bertanggung jawab untuk menata urusan keagamaan. Dalam konteks ini, Hooker pernah mengemukakan, bahwa Mir’at al-Thullab merupakan rujukan utama kitab Lumaran, sebuah kumpulan hukum Islam yang digunakan kaum Muslim Mindanau, Filipina, sejak pertengahan abad ke-19. Karya lain Al-Sinkili dalam bidang fiqh adalah kitab Al-Fara’idh yang membahas tentang pembagian harta waris yang digunakan oleh kaum Muslim Melayu-Nusantara hingga waktu belakangan ini.

Dalam bidang tafsir, Al-Sinkili merupakan ulama pertama di dunia Islam Melayu yang mempersiapkan tafsir Al-Qur’an secara lengkap dalam bahasa Melayu dengan karyanya, Tarjuman al-Mustafid, yang diselesaikan selama karier panjangnya di Kesultanan Aceh. Telaah baru-baru ini menemukan bahwa sebelum dia, hanya ada sepenggal tafsir atas QS. Al-Kahfi (18). Karya itu diperkirakan ditulis pada masa Hamzah Fansuri atau Syams Al-Din Al-Samaterani, mengikuti tradisi Tafsir al-Khazin. Tetapi gaya terjemahan dan penafsirannya berbeda dengan Hamzah atau Syams Al-Din, yang lazim menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara mengutip penggalan ayat dalam karya-karya mereka secara mistis.

Sebagai tafsir paling awal di Melayu-Nusantara, tidak mengherankan kalau karya Al-Sinkili bukan saja beredar luas di wilayah ini, tapi bahkan sampai dibaca di kalangan komunitas Melayu di Afrika Selatan -mereka kemungkinan adalah pengikut Syeikh Yusuf Al-Maqassari. Dalam konteks ini, Azyumardi Azra juga memberikan kesimpulan bahwa tafsir Tarjuman al-Mustafid ini mencerminkan ketinggian nilai dan intelektual Al-Sinkili. Pasalnya, edisi cetaknya terbit di berbagai belahan dunia Islam, seperti: Singapura, Penang, Jakarta, Bombai, Istambul, Kairo, dan Mekkah dalam kurun waktu panjang, dari akhir abad ke-17 sampai akhir abad ke-20.

Corak penulisan Tarjuman al-Mustafid ini mengikuti alur Tafsir al-Jalalan, karya monumental Jalal Al-Din Al-Mahalli dan Jalal Al-Din Al-Suyuthi. Hanya pada bagian-bagaian tertentu saja Al-Sinkili memanfaatkan Tafsir al-Baydhawi dan Tafsir al-Khazin. Corak demikian dimaksudkan Al-Sinkili sebagai teks pendahuluan yang bagus untuk orang-orang yang baru mempelajari tasir Al-Qur’an di kalangan Muslim Melayu-Nusantara, agar mereka mudah memahami makna Al-Qur’an sehingga bisa mempraktekkan isinya dalam kehidupan sehari-hari.

Untuk keperluan karyanya ini, ia menerjemahkan Tafsir al-Jalalain ke dalam bahasa Melayu secara sederhana agar mudah dipahami orang Melayu pada umumnya. Karenanya, ia menerjemahkan Tafsir al-Jalalayn kata perkata dengan tidak memberikan tambahan dalam bentuk penjelasan atau komentar apapun dari dirinya sendiri. Lebih jauh lagi, dia menghapuskan penjelasan-penjelasan tata bahasa Arab dan penafsiran-penafsiran panjang, yang dinilainya justru menyulitkan pembaca.

Nilai signifikansi karya tafsir Al-Sinkili ini adalah merupakan suatu petunjuk dalam sejarah keilmuan tafsir Al-Qur’an di Melayu, dimana ia meletakkan dasar-dasar bagi sebuah jembatan antara tarjamah (tarjemahan) dan tafsir, dan karenanya mendorong telaah lebih lanjut atas karya-karya tafsir dalam bahasa Arab. Selama hampir tiga abad, Tarjuman al-Mustafid merupakan satu-satunya terjemahan lengkap Al-Qur’an di Melayu. Baru, dalam tiga puluh tahun terakhir muncul tafsir-tafsir baru di wilayah Melayu-Nusantara. Dengan demikian, boleh dikatakan, karya Al-Sinkili ini memainkan peranan penting dalam memajukan pemahaman lebih baik atas ajaran-ajaran Islam.

Dalam bidang hadits, Al-Sinkili menulis dua karya. Pertama, Syarkh kitab Arba’in al-Nawawi, (Empat Puluh Hadits Kumpulan Al-Nawawi), yang ditulis atas permintaan Sultanah Zakiyat Al-Din. Kitab ini merupakan sebuah koleksi kecil hadits-hadits yang mengupas masalah kewajiban-kewajiban dasar dan praktis kaum Muslim secara umum. Kedua, Al-Mawa’izh al-Badi’ah, sebuah koleksi hadits qudsi. Dalam kumpulan hadits qudsi ini, Al-Sinkili mengemukakan ajaran mengenai Tuhan dan hubungan-Nya dengan penciptaan neraka dan surga, dan cara-cara yang layak bagi kaum Muslimin untuk mendapatkan rida Allah SWT. Al-Sinkili secara khusus juga menekankan perlunya bagi setiap Muslim menemukan keselarasan antara pengetahuan (‘ilm) dan perbuatan baik (‘amal). Pasalnya, pengetahuan saja tidak akan membuat seseorang menjadi Muslim lebih baik, karena itu dia juga harus melakukan perbuatan-perbuatan baik pula.

Dari keempat karya di bidang ilmu zahir-nya di atas, Al-Sinkili berusaha memberikan pemahaman secara sederhana kepada kepada kaum awam untuk menjalankan ajaran agamanya secara praktis dan mengikuti tuntunan syariat. Bahkan bukan hanya itu, Al-Sinkili juga menulis sejumlah karya untuk kalangan elit (al-khawwash) mengenai topik-topik yang berkaitan dengan ilmu-ilmu batiniyah seperti kalam dan tasawuf. Dia menulis beberapa karya yang membahas topik-topik ini. Dalam Kifayat al-Muhtajin ila Masyrab al-Muwahhidin al-Qa’ilin bi Wahdat al-Wujud, Al-Sinkili mempertahankan transedensi Tuhan atas ciptaan-Nya. Dia menolak pendapat wujudiyyah yang menekankan imanensi Tuhan dalam ciptaan-Nya.

Al-Sinkili berpendapat, sebelum Tuhan menciptakan alam raya, Dia memikirkan tentang diri-Nya sendiri, yang mengakibatkan terciptanya nur Muhammad (Cahaya Muhammad). Dari nur Muhammad itu Tuhan menciptakan pola-pola dasar permanen (al-a’yan al-tsabithah), yaitu potensi alam raya, yang menjadi pola-pola dasar luar (al-a’yan al-kharijiyyah), ciptaan dalam bentuk konkretnya. Kemudian Al-Sinkili menyimpulkan, meski berbeda dari Tuhan, hubungan keduanya adalah seperti tangan dan bayangannya. Meski tangan hampir tidak dapat dipisahkan dari bayangannya, yang terakhir itu tidak sama dengan yang pertama. Dengan ini, Al-Sinkili menegaskan transedensi Tuhan atas ciptaan-Nya.

Dalam risalah pendeknya yang berjudul Daqa’iq al-Hurf, Al-Sinkili juga mengemukakan argumen yang sama. Karya ini merupakan penafsiran atas apa yang dinamakan "empat baris ungkapan panteistis" dari Ibn ‘Arabi. Meski Al-Sinkili juga memanfaatkan sistem emanasi neo-Platonis, yang juga erat kaitannya dengan panteisme Syams Al-Din -yang dengan demikian menurut Martin Van Bruinessen digolonglan sebagai pendukung wahdat al-wujud- ia secara hati-hati dan sadar menjaga jarak dirinya dari penafsiran yang menyimpang.

Kehati-hatian dan kesadaran penafsiran Al-Sinkili yang demikian disebabkan pengaruh kuat intelektualisme dan kepribadian Al-Kurani dalam dirinya, yang menekankan pentingnya intuisi (kasyf) dalam jalan mistis, serta mengakui keterbatasan akal di dalam memahami hakikat Tuhan. Dalam membahas ke-Esaan Tuhan, misalnya, Al-Sinkili berpegang erat-erat pada konsep-konsep Al-Kurani, mengenai tawhid al-ulihiyyah (Keesaan Tuhan), tawhid al-af’al (Kesatuan Tindak Tuhan), tawhid al-shifat (Keesaan Sifat-sifat), tawhid al-wujud (Keesaan Esensi) serta tawhid al-haqiqi (Keesaan Realitas Mutlak).

Al-Sinkili menyatakan, cara paling efektif untuk merasakan dan menangkap Keesaan Tuhan adalah dengan menjalankan ibadat, terutama dzikr (mengingat Tuhan) baik secara diam (sirr) maupun dengan bersuara (jahr). Menurutnya, satu-satunya tujuan zikir secara lebih spesifik adalah mencapai al-mawt al-ikhtiyari (kematian "suka-rela"), atau apa yang dinamakan Al-Kurani, al-mawt al-ma’nawi (kematian "ideasional") yang merupakan kebalikan dari al-mawt al-thabi’i (kematian alamiah).

Dalam kitab Al-Simth Al-Majid, Al-Sinkili mengikuti metode zikir Al-Qusyasyi melalui jalan tarekat Syathariyyah -walaupun ia juga pengamal beberapa tarekat lainnya seperti Naqsyabanddiyyah dan Qadiriyyah. Ia juga mengikuti ajaran-ajaran Al-Qusyasyi mengenai kewajiban murid terhadap guru mereka. Hal ini tampak dari dua risalahnya, masing-masing: Risalah Adab Murid akan Syaikh dan Risalah Mukhtasharah fi Bayan Syurut al-Syaikh wa al-Murid.

Dari pemikiran kalam, sufistik dan fiqhnya, dapat diketahui, bahwa Al-Sinkili secara sadar turut menyebarkan dan memperkuat doktrin dan kecenderungan intelektual dan praksis tradisi Islam di Melayu-Nusantara, dengan ciri paling menonjolnya yakni neo-sufisme. Ia berusaha memperbaharui pandangan bahwa tasawuf bisa berjalan seiring dengan syariat. Menurutnya, hanya dengan kepatuhan mutlak pada syariat para penganut jalan mistis dapat memperoleh pengalaman haqiqah (realitas) sejati.

Sebagai seorang mujaddid bergaya revolusioner, bukan radikal sebagaimana Al-Raniri, Al-Sinkili lebih menyukai jalan rekonsiliasi mendamaikan pandangan-pandangan yang saling bertentangan daripada menolak salah satu di antaranya. Oleh karena itu ia merevisi fatwa radikal Al-Raniri yang menganggap sesat, kafir dan menghukum bunuh para penganut doktrin wahdat al-wujud yang dikembangkan Hamzah Fansuri dan Al-Sumaterani, meskipun ia tidak setuju terhadap aspek tertentu doktrin wahdat al-wujud tersebut. Karena menurutnya, adalah berbahaya menuduh orang lain kafir dengan mengutip sebuah hadis Rasulullah SAW yang menyatakan: "Janganlah menuduh orang lain menjalankan kehidupan penuh dosa atau kafir, sebab tuduhan itu akan berbalik jika ternyata tidak benar. (pondokpesantren.net)

Jadilah Seperti Lebah

Rasulullah saw. bersabda, "Perumpamaan orang beriman itu bagaikan lebah. Ia makan yang bersih, mengeluarkan sesuatu yang bersih, hinggap di tempat yang bersih dan tidak merusak atau mematahkan (yang dihinggapinya)." (Ahmad, Al-Hakim, dan Al-Bazzar)

Seorang mukmin adalah manusia yang memiliki sifat-sifat unggul. Sifat-sifat itu membuatnya memiliki keistimewaan dibandingkan dengan manusia lain. Sehingga di mana pun dia berada, kemana pun dia pergi, apa yang dia lakukan, peran dan tugas apa pun yang dia emban akan selalu membawa manfaat dan maslahat bagi manusia lain. Maka jadilah dia orang yang seperti dijelaskan Rasulullah saw., "Manusia paling baik adalah yang paling banyak memberikan manfaat bagi manusia lain."

Kehidupan ini agar menjadi indah, menyenangkan, dan sejahtera membutuhkan manusia-manusia seperti itu. Menjadi apa pun, ia akan menjadi yang terbaik; apa pun peran dan fungsinya maka segala yang ia lakukan adalah hal-hal yang membuat orang lain, lingkungannya menjadi bahagia dan sejahtera.

Nah, sifat-sifat yang baik itu antara lain terdapat pada lebah. Rasulullah saw. dengan pernyataanya dalam hadits di atas mengisyaratkan agar kita meniru sifat-sifat positif yang dimiliki oleh lebah. Tentu saja, sifat-sifat itu sendiri memang merupakan ilham dari Allah swt.

seperti yang Dia firmankan, "Dan Rabbmu mewahyukan (mengilhamkan) kepada lebah: ‘Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia. Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Rabbmu yang telah dimudahkan (bagimu).' Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Rabb) bagi orang-orang yang memikirkan." (An-Nahl: 68-69)

Sekarang, bandingkanlah apa yang dilakukan lebah dengan apa yang seharusnya dilakukan seorang mukmin, seperti berikut ini:

Hinggap di tempat yang bersih dan menyerap hanya yang bersih.

Lebah hanya hinggap di tempat-tempat pilihan. Dia sangat jauh berbeda dengan lalat. Serangga yang terakhir amat mudah ditemui di tempat sampah, kotoran, dan tempat-tempat yang berbau busuk. Tapi lebah, ia hanya akan mendatangi bunga-bunga atau buah-buahan atau tempat-tempat bersih lainnya yang mengandung bahan madu atau nektar.

Mengeluarkan yang bersih.

Siapa yang tidak kenal madu lebah. Semuanya tahu bahwa madu mempunyai khasiat untuk kesehatan manusia.

Tapi dari organ tubuh manakah keluarnya madu itu? Itulah salah satu keistimewaan lebah. Dia produktif dengan kebaikan, bahkan dari organ tubuh yang pada binatang lain hanya melahirkan sesuatu yang menjijikan. Belakangan, ditemukan pula produk lebah selain madu yang juga diyakini mempunyai khasiat tertentu untuk kesehatan: liurnya!
Seorang mukmin adalah orang yang produktif dengan kebajikan. "Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Rabbmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan." (Al-Hajj: 77)

Al-khair adalah kebaikan atau kebajikan. Akan tetapi al-khair dalam ayat di atas bukan merujuk pada kebaikan dalam bentuk ibadah ritual. Sebab, perintah ke arah ibadah ritual sudah terwakili dengan kalimat "rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Rabbmu" (irka'u, wasjudu, wa'budu rabbakum). Al-khair di dalam ayat itu justru bermakna kebaikan atau kebajikan yang buahnya dirasakan oleh manusia dan makhluk lainnya.

Segala yang keluar dari dirinya adalah kebaikan. Hatinya jauh dari prasangka buruk, iri, dengki; lidahnya tidak mengeluarkan kata-kata kecuali yang baik; perilakunya tidak menyengsarakan orang lain melainkan justru membahagiakan; hartanya bermanfaat bagi banyak manusia; kalau dia berkuasa atau memegang amanah tertentu, dimanfaatkannya untuk sebesar-besar kemanfaat manusia.


Begitulah pula sifat seorang mukmin. Allah swt. berfirman:

Hai manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan adalah musuh yang nyata bagimu. (Al-Baqarah: 168)

(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur'an), mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Al-A'raf: 157)

Karenanya, jika ia mendapatkan amanah dia akan menjaganya dengan sebaik-baiknya. Ia tidak akan melakukan korupsi, pencurian, penyalahgunaan wewenang, manipulasi, penipuan, dan dusta. Sebab, segala kekayaan hasil perbuatan-perbuatan tadi adalah merupakan khabaits (kebusukan).

Tidak pernah merusak.

Seperti yang disebutkan dalam hadits yang sedang kita bahas ini, lebah tidak pernah merusak atau mematahkan ranting yang dia hinggapi. Begitulah seorang mukmin. Dia tidak pernah melakukan perusakan dalam hal apa pun: baik material maupun nonmaterial. Bahkan dia selalu melakukan perbaikan-perbaikan terhadap yang dilakukan orang lain dengan cara-cara yang tepat. Dia melakukan perbaikan akidah, akhlak, dan ibadah dengan cara berdakwah. Mengubah kezaliman apa pun bentuknya dengan cara berusaha menghentikan kezaliman itu. Jika kerusakan terjadi akibat korupsi, ia memberantasnya dengan menjauhi perilaku buruk itu dan mengajukan koruptor ke pengadilan.

Bekerja keras.

Lebah adalah pekerja keras. Ketika muncul pertama kali dari biliknya (saat "menetas"), lebah pekerja membersihkan bilik sarangnya untuk telur baru dan setelah berumur tiga hari ia memberi makan larva, dengan membawakan serbuk sari madu. Dan begitulah, hari-harinya penuh semangat berkarya dan beramal. Bukankah Allah pun memerintahkan umat mukmin untuk bekerja keras? "Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain." (Alam Nasyrah: 7)

Kerja keras dan semangat pantang kendur itu lebih dituntut lagi dalam upaya menegakkan keadilan. Karena, meskipun memang banyak yang cinta keadilan, namun kebanyakan manusia -kecuali yang mendapat rahmat Allah- tidak suka jika dirinya "dirugikan" dalam upaya penegakkan keadilan.

Bekerja secara jama'i dan tunduk pada satu pimpinan.

Lebah selalu hidup dalam koloni besar, tidak pernah menyendiri.

Mereka pun bekerja secara kolektif, dan masing-masing mempunyai tugas sendiri-sendiri. Ketika mereka mendapatkan sumber sari madu, mereka akan memanggil teman-temannya untuk menghisapnya. Demikian pula ketika ada bahaya, seekor lebah akan mengeluarkan feromon (suatu zat kimia yang dikeluarkan oleh binatang tertentu untuk memberi isyarat tertentu) untuk mengudang teman-temannya agar membantu dirinya. Itulah seharusnya sikap orang-orang beriman. "Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh." (Ash-Shaff: 4)

Tidak pernah melukai kecuali kalau diganggu.

Lebah tidak pernah memulai menyerang. Ia akan menyerang hanya manakala merasa terganggu atau terancam. Dan untuk mempertahankan "kehormatan" umat lebah itu, mereka rela mati dengan melepas sengatnya di tubuh pihak yang diserang. Sikap seorang mukmin: musuh tidak dicari. Tapi jika ada, tidak lari.

Itulah beberapa karakter lebah yang patut ditiru oleh orang-orang beriman. Bukanlah sia-sia Allah menyebut-nyebut dan mengabadikan binatang kecil itu dalam Al-Quran sebagai salah satu nama surah: An-Nahl. Allahu a'lam. (unisula.ac.id)

Imam Feisal Abdul Rauf Menjembatani Islam dan Barat

Seorang imam masjid di New York, Imam Feisal Abdul Rauf, mengungkapkan bahwa ia ingin menjadi sebuah sosok yang mampu membangun jembatan yang menghubungkan antara dunia Islam dan Barat dengan baik untuk memupus rasa saling curiga di antara keduanya.

Abdul Rauf, yang juga merupakan ketua sebuah lembaga bernama Cordoba Initiative, selama ini memang terus berupaya menghapus perasaan saling curiga dan mencoba mewujudkan harmoni antara dunia Islam dan Barat.

''Tujuan saya adalah menebar harmoni dan perdamaian dunia Islam dan Barat. Peran saya adalah melihat bagaimana kerja saya bisa membantu meningkatkan hubungan antara dua entitas tersebut,'' kata Abdul Rauf, seperti dikutip Islamonline, akhir pekan lalu.

Abdul Rauf mengungkapkan, ia mendirikan Cordoba Initiative pada 2003 untuk menghapus rasa saling tidak percaya antara dunia Islam dan Barat. Langkah awal yang ia lakukan adalah mengidentifikasi sumber-sumber penyebab konflik antara kedua belah pihak tersebut.

Menurut Abdul Rauf, ia telah menuangkan inisiatif tersebut ke dalam serangkaian proyek yang ia yakini menjadi langkah efektif untuk mencapai angan-angannya itu. Proyek itu mencakup bidang politik, agama, dan budaya.

''Insya Allah, proyek-proyek ini membantu mengurangi konflik dan menyelesaikan konflik yang ada dengan baik,'' ujar Abdul Rauf. Ia yakin, langkah-langkahnya akan mampu merekatkan dunia Islam dan Barat dalam kurun waktu satu dekade ke depan.

Lalu, terwujud sebuah kondisi di mana kedua belah pihak saling mengakui dan menghormati satu sama lain. Tentunya, jelas Abdul Rauf, menghindari langkah-langkah yang menyebabkan lahirnya ketegangan yang tak berkesudahan.

Langkah lain yang dirancang Abdul Rauf adalah membangun sebuah pusat kegiatan Islam, yang letaknya dua blok dari Ground Zero di New York. ''Kami ingin melengkapi bangunan itu dengan teknologi yang memadai,'' katanya.

Melalui perlengkapan teknologi, ujar Abdul Rauf, pusat kegiatan Islam itu bisa menampilkan dan mempertunjukkan apa yang dilakukan Muslim di seluruh dunia. Tentu, kata dia, dalam upaya untuk mewujudkan pertalian yang kuat dengan dunia.

Kini, Abdul Rauf juga melakukan serangkaian tur yang disponsori Kementerian Luar Negeri AS untuk mencapai tujuannya itu. Menurut dia, ini merupakan bagian dari upayanya yang besar dan tentu tak bisa dikerjakan satu orang atau satu organisasi saja.

Abdul Rauf mengatakan, untuk mewujudkan harmoni itu, ia harus mampu berbagi dengan pihak lain. Semua pihak, jelas dia, termasuk media, dibutuhkan dalam mewujudkan impiannya itu. ''Kami butuh media dan orang-orang yang mengerti apa yang kami lakukan.''

Dengan alasan ini pulalah, Abdul Rauf menyatakan bahwa ia mempertahankan dukungan dari Pemerintah AS terhadap organisasi yang dipimpinnya. ''Jika saya tak memiliki telinga dari orang-orang yang memiliki kekuatan politik, saya tak tahu isu terkini,'' katanya.

Jadi, jelas Abdul Rauf, jika seseorang ingin memecahkan masalah yang ada, apalagi masalah pelik terkait hubungan Barat dengan dunia Islam, orang atau organisasi tersebut harus memiliki jangkar di setiap tempat yang diyakini bisa memberi bantuan.

Menurut Abdul Rauf, sebagai seorang warga Amerika dan memimpin sebuah organisasi di Amerika, ia harus mematuhi hukum-hukum yang berlaku di sana. Namun, pada intinya, ungkap dia, tanpa terlibat dalam isu besar terkini yang ada di dunia, ia tak bisa memecahkannya.

Abdul Rauf juga meyakini, hubungan dirinya dan Cordoba Initiative dengan Pemerintah AS tak akan menciptakan kecurigaan terhadap dirinya ataupun inisiatif yang ia lontarkan. ''Cordoba Initiative didukung baik oleh Barat ataupun dunia Islam,'' ungkapnya.

Tak hanya Pemerintah AS yang menaruh perhatian atas langkah Abdul Rauf, menurut dia, pemerintah negara lain juga melakukan hal yang sama. Ia menyebut Malaysia, Qatar, Belanda, dan Inggris yang juga memberi dukungan atas langkahnya. Abdul Rauf memiliki keinginan supaya Cordoba Initiative yang dipimpinnya kelak akan menjadi organisasi, seperti PBB . New York _(Republika.co.id)